Sumber Gambar: Farizal Resat on Unsplash
Kabupaten Barito Kuala merupakan daerah lumbung padi yang terletak di Provinsi Kalimantan Selatan. Pertanian di kabupaten ini sebagian besar dikerjakan oleh petani Bakumpai yang termasuk dalam suku Dayak. Selama ini suku Dayak lebih dikenal dengan metode ladang berpindahnya, akan tetapi yang dilakukan disini adalah pertanian menetap. Kearifan lokal penduduk di kawasan tersebut adalah sistem pengetahuan yang didapatkan dari warisan antar generasi dan proses pengalam yang terjadi. Salah satu pentingnya mengenal kearifan lokal di Indonesia adalah untuk memahami ragam praktek budidaya dan mengatasi krisis pangan yang bisa melanda dengan keragaman metode budidaya tersebut.
Kondisi lingkungan di kabupaten Barito Kuala pada umumnya merupakan dataran rendah daerah rawa dan lahan gambut. Terdapat juga kebun karet, rotan dan pisang. Lahan petani Bakumpai termasuk kategori rawa pasang surut yang selalu terluapi air pada saat pasang besar dan kecil yang umumnya terletak di tepi sungai Barito. Salah satu hal yang menarik dalam tradisi bertani petani Bakumpai adalah pemilihan lokasi pertanian yang disebut tana. Padi tumbuh dengan subur dan setiap panen selalu mendapatkan padi yang berlimpah. Namun, keadaan tersebut tidak berlangsung lama akibat musim penghujan, lahan pertanian terendam dan memusnahkan padi yang siap panen. Kegagalan panen inilah yang membuat petani Bakumpai mencari lahan baru agar tanaman padi tidak terendam.
Petani Bakumpai mengenal musim yang terbagi menjadi dua macam, yakni wayah pandang (musim kemarau) dan wayah danum (musim air). Wayah pandang berlangsung antara bulan November hingga April, masa pancaroba pada bulan Mei, sedangkan wayah danum berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober. Perbedaan musim ini akan mempengaruhi aktivitas pertanian yang dilakukan. Aktivitas pertanian petani Bakumpai seperti pengolahan lahan, pemilihan varietas padi, persemaian, proses penanaman padi, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan pasca panen terbagi kedalam beberapa musim, yaitu wayah manugal, wayah malacak, wayah maimbul dan wayah getem. Sebelum masyarakat bertani terlebih dahulu membuka lahan pertanian. Mandirik adalah hal yang terlebih dulu dilakukan, yakni membersihkan lahan dengan memotong rumput dan menebang pohon. Setelah itu, pekerjaan selanjutnya dinamakan marangai, yakni mengangkat pohon-pohon yang ditebang ke pinggir lahan atau dikumpulkan di tengah lahan untuk dibakar.
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Wahyu & Nasrullah (2011), petani Bakumpai memiliki suatu siklus kehidupan antara pertanian dan aktivitas kerja lainnya. Contohnya, dalam mengolah lahan yang dilakukan turun temurun, para petani memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk alami. Untuk memotong rumput, petani Bakumpai menggunakan alat yang tidak sampai membalikkan permukaan tanah karena hal tersebut dapat mempengaruhi kadar keasaman tanah. Selain itu, cara pengolahan petani di daerah Jawa yang menggunakan cangkul berbeda dengan di Barambai kabupaten Barito Kuala yang menyiapkan lahan dengan parang dan memerlukan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit.
Sumber: Wahyu & Nasrullah. 2011. “Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala”. Jurnal Komunitas, 5(2): 289-302.